Halaman

Rabu, 10 November 2010

pati ayam

Penemuan fosil peninggalan purbakala di pegunungan Patiayam Dukuh Kancilan, Kelurahan Karangdowo, Kecamatan Jekulo, Kudus sungguh mengagumkan. Tak hanya satu atau dua fosil hewan purba ditemukan di pegunungan ini. Ratusan hewan purba dari jaman miosen (24 juta tahun lalu) hingga jaman pleistosen (2 juta tahun lalu) meninggalkan jejaknya di sini.
Namun sayang, penemuan ini belum menggerakkan pemerintah untuk mengadakan eskavasi (penggalian) dengan serius. Banyak penemuan dilakukan oleh warga hingga kepemilikannya tak jelas. Untungnya, dengan kesadaran beberapa warga mulai menginventarisir penemuan ini.
Salah seorang warga, Rakijan Al Musthofa, merelakan dapurnya untuk dipakai sebagai museum penyimpanan hasil inventarisasi fosil. “Dapur saya dulu ukurannya 4×8, lalu saya bagi, setengahnya untuk museum,” jelasnya. Rakijan kini menyimpan 30.000 fosil binatang purba.
Rakijan merasa terpanggil untuk melakukan pelestarian karena dirinya mengetahui benar fosil yang ditemukan warga tak bisa dibiarkan tercerai berai. Fosil ini merupakan aset, baik bagi negara maupun desanya. Ia merasa khawatir jika aset yang dimiliki oleh desanya tak terurus.
Kekhawatiran ini bukannya tanpa alasan karena kisah penemuan fosil ini terbilang unik. Sebelum Dinas Pariwisata Dan Kebudayaan Kabupaten Kudus mengadakan sosialisasi mengenai benda purbakala di desanya pada tahun 2005, warga meyakini tulang yang ditemukannya merupakan tulang buto (raksasa dalam pewayangan Jawa). Mereka menganggap tulang ini memiliki khasiat untuk menyembuhkan berbagai penyakit.
“Bahkan ada warga yang meyakini tulang rahang stegodon (gajah purba) yang ditemukannya mampu menyembuhkan sakit gigi jika di tempelkan pada bagian gigi yang sakit,” jelas Rakijan.
Akibatnya kepemilikan fosil yang dimiliki warga diturunkan pada anak cucunya. Seringkali fosil dibawa pergi melancong oleh keturunan pemiliknya sehingga rimbanya tak jelas. Beberapa diantaranya dimungkinkan telah hilang.
Walaupun sebenarnya penggalian ilmiah sebenarnya sudah mulai dilakukan di perbukitan bebatuan tuva (batuan berasal dari abu vulkanik purba yang sifatnya kering)di belakang desa semenjak tahun 1979. Penggalian ini dilakukan oleh Dr Yahdi, seorang geolog dari Institut Tekhnologi Bandung (ITB). Ia menemukan gigi geraham dan tujuh pecahan tengkorak phytecantropus erectus.
Temuan Dr Yahdi ini belum seberapa, karena pada tahun 1982, seorang warga bernama Sukarmin menemukan gading sepanjang 2,7 meter. Penemuan gading, yang diyakini merupakan gading stegodon (gajah purba yang muncul pada masa meistosen), ini langsung diboyong ke Museum Ronggowarsito, Semarang.
Namun penggalian ilmiah lanjutan baru dilakukan pada tahun 2007 dan 2008 lalu oleh Balai Arkeologi Yogyakarta. Penggalian pada dua tahun ini juga berhasil mengidentifikasi kehidupan purba di kawasan pegunungan Patiayam ini. Menurut penggalian dan penelitian ini setidaknya masih ada 27 titik habitat purba di pegunungan Patiayam.
Rakijan sendiri mengaku mulai tahun 2005 lalu mengadakan inventarisasi fosil temuan warga. Mereka mendirikan Paguyuban Pelestari Situs Patiayam setelah keluarnya Keputusan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala di awal tahun 2005 yang menyatakan Patiayam sebagai kawasan cagar budaya. “Setidaknya kami turut menjaga,” jelas Rakijan.
Proses inventarisasi yang dilakukannya sendiri tidaklah mudah karena ada beberapa warga yang tidak mau menyerahkan temuannya. Kebanyakan yang sudah dimiliki secara turun temurun. “Kalaupun ada yang mau menyerahkan kami juga harus beri imbalan, hitung-hitung uang rokok. Kalau tidak begitu pakewuh (sungkan),” jelasnya.
Usaha ini dirasanya kian berat karena Rakijan mengaku inventarisasi yang dilakukannya belum mendapat dana yang signifikan. Untuk memberi imbalan kepada warga pemilik fosil-pun paguyuban hanya mengandalkan sumbangan sukarela dari anggotanya. “Mereka kita beri ala kadarnya saja,” akunya.
Sedangkan untuk memelihara museum, ia mengaku banyak dibantu oleh mahasiswa yang sedang Kuliah Kerja Nyata (KKN). Rak dan etalase yang tersedia-pun hanya disumbang oleh pemerintah. Padahal fungsi museum ini cukup penting karena temperatur ruangan harus dijaga pada suhu 22′ hingga 25′ celcius untuk mengawetkan fosil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar